Dari Basic Training ke Arena Perjuangan: Cerita di Balik Kaderisasi HMI

0
Oplus_131072
- Advertisement -

Oleh: Muh. Zulkifli

POSONEWS.ID – Tidak semua organisasi mahasiswa mampu bertahan lebih dari tujuh dekade dan tetap relevan di berbagai zaman. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah satu dari sedikit organisasi yang berhasil menjaga konsistensi arah perjuangannya sejak didirikan pada 5 Februari 1947. Di balik keberlanjutan eksistensinya, ada satu proses fundamental yang menjadi jantungnya: kaderisasi. Dan titik mula dari semua itu adalah Basic Training atau Latihan Kader I (LK I) sebuah proses transformasi ideologis dan spiritual, bukan sekadar pelatihan organisasi.

Sebagai orang yang pernah mengikuti Basic Training, saya mengalami langsung bahwa pelatihan ini bukan hanya ruang pengenalan sejarah atau struktur organisasi. Lebih dari itu, LK I adalah ruang refleksi. Di sana, saya dan banyak peserta lain dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa kita sebagai manusia? Apa peran kita sebagai mahasiswa? Dan di mana posisi kita dalam konteks umat dan bangsa?

Banyak dari kami datang dengan motivasi yang biasa-biasa saja, sekadar ikut-ikutan, penasaran, atau merasa perlu aktif di organisasi. Tapi tak sedikit yang justru keluar dari forum itu dengan kesadaran baru: bahwa menjadi kader HMI berarti memilih jalan perjuangan, jalan panjang yang tak selalu mudah, tapi bermakna.

Selama pelatihan, kami diajak memahami trilogi HMI—keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan—bukan sebagai jargon belaka, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak. Diskusi-diskusi tajam, ceramah pemantik, simulasi persidangan, hingga dinamika kelompok yang intens membuka mata kami bahwa kaderisasi bukanlah proses instan. Ia menuntut kedewasaan berpikir, keberanian bersikap, dan kemauan untuk belajar terus-menerus.

Namun, proses itu belum selesai. Justru setelah LK I, tantangan sebenarnya dimulai. Kader diharapkan turun ke arena nyata: mengelola komisariat, memimpin aksi sosial, mengadvokasi kebijakan, menyuarakan keadilan, serta menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Basic Training bukanlah akhir, tetapi gerbang menuju perjuangan yang sesungguhnya.

Sayangnya, di tengah realitas hari ini, semangat kaderisasi sering kali terkikis oleh godaan pragmatisme dan politik transaksional. LK I kerap dijadikan tiket struktural belaka, bukan sebagai titik tolak tanggung jawab sosial. Banyak kader berhenti pada simbol, tanpa pernah benar-benar bergerak ke lapangan. Akibatnya, kaderisasi kehilangan ruhnya—menjadi rutinitas tanpa arah, seremoni tanpa substansi.

Di sinilah HMI harus berbenah. Kaderisasi perlu direvitalisasi, dikembalikan ke marwah awalnya sebagai proses pembentukan manusia paripurna—yang beriman, berilmu, dan beramal. Ini hanya bisa terwujud jika setiap proses pelatihan dikawal dengan sungguh-sungguh, bukan hanya dari sisi materi, tetapi juga nilai dan keteladanan. Pendekatannya harus relevan terhadap zaman, namun tidak kehilangan akar.

Bagi saya, perjalanan dari Basic Training ke arena perjuangan bukanlah slogan kosong. Ia adalah laku hidup yang penuh jatuh bangun. Tapi di sanalah seorang kader ditempa—dipertajam gagasannya, didewasakan sikapnya, dan diarahkan kontribusinya. Kader sejati bukan yang hanya fasih berbicara di forum, tetapi yang mampu memanifestasikan nilai-nilai itu dalam tindakan nyata.

HMI tidak kekurangan kader cerdas. Yang kita butuhkan hari ini adalah kader yang sanggup konsisten. Karena lebih sulit menjaga api daripada menyalakannya. Dan kaderisasi, sejatinya, adalah tentang menjaga api itu tetap menyala—dalam diri, di organisasi, dan untuk umat serta bangsa. ***