Celebes Institute Sebut: Operasi Panjang Tak Berhasil Namun Terus Memakan Korban

0
Foto: Adriany Badrah

PosoNews.id, Poso- Celebes Institute mengecam dan mengutuk aksi terror dan kekerasan yang terjadi di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Aksi terror dan kekerasan yang terjadi pada beberapa bulan ini yang berlokasi di wilayah Poso, Parimo dan Sigi tentunya sangat meresahkan warga karena hak untuk mendapat jaminan rasa aman atas ganggunan keamanan yang mengakibatkan adanya korban jiwa juga berdampak pada aktivitas sosial dan ekonomi warga, khususnya di wilayah yang menjadi pergerakan gerilya para pelaku teror dan kekerasan.

Teror dan serangan kekerasan yang biadab terus terjadi seiring dengan adanya operasi keamanan untuk menangkap mereka yang masuk dalam daftar pelaku teror dan kekerasan. Sorotan dan kritikan terhadap pelaksanaan operasi keamanan di Poso terus bergulir. Celebes Institute secara tegas meminta aparat keamanan TNI dan Polri untuk benar-benar serius dan memaksimalkan Satgas Operasi Tinombala.

- Advertisement -

Kepada media, Adriany Badrah Direktur Celebes Institute mengatakan, Celebes Institute merupakan organisasi yang sejak tahun 2011 konsern dengan program rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana teroris, mencatat perjalanan pelaksanaan operasi keamanan di Poso untuk melakukan perburuan dan penangkapan para teroris sangat panjang durasinya yang tentunya telah menghabiskan anggaran banyak dalam setiap pelaksanaan operasi

“Namun faktanya operasi tidak mampu menghentikan aksi teror dan kekerasan yang terjadi serta memberi jaminan rasa aman bagi warga,” ujarnya.

Menurutnya, Celebes Institute mencatat, Operasi Camar Maleo I – IV berlangsung sejak Januari 2015 – Januari 2016. Kemudian operasi keamanan dilanjutkan dengan sandi ‘Tinombala’ hingga diperpanjang sampai 31 Desember 2020.

Bahkan saat pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI (2018), Tito Karniavan menyampaikan bahwa operasi teroris di Indonesia 75 persen bersifat intelijen, striking (penindakan) sebesar 5 persen dan pemberkasan untuk ke proses peradilan 20 persen. Melihat persentase tersebut, artinya intelijen tidak bekerja dengan baik atau tidak berfungsi.

“Di wilayah fokus operasi pun tidak bisa mendeteksi pergerakan para pelaku teror dan kekerasan. Teraktual adalah teror dan kekerasan yang terjadi di desa Lembantongoa. Sementara kelompok sipil bersenjata tersebut melakukan sistem penyerbuan gerilya. Jika aparat keamanan benar-benar serius maka harus melakukan sistem penyerbuan yang sama, karena aparat keamanan yang tergabung dalam operasi tidak menguasai medan dimana mereka datang berganti-ganti (BKO 3 – 6 bulan) dan kelompok tersebut telah bertahun-tahun menguasai medan hingga hutan di Poso,” ucapnya kepada media ini.

Kata Adriany Badrah, para pelaku dan kelompok tersebut tidak mengenal rasa kemanusiaan dengan melakukan tindakan biadab maka aparat keamanan harus serius dan bersungguh-sungguh melakukan perburuan para pelaku dengan tidak membiarkan kelompok teroris yang berbasis agama terus melakukan teror dan kekerasan terhadap warga sipil.

“Aparat keamanan (TNI/Polri) bersama Pemerintah Daerah harus menunjukkan komitmen kebijakannya bagi masyarakat atas tindakan kelompok teroris yang menyebabkan keresahan, rasa takut ditengah masyarakat, mengancam kehidupan, kebebasan dan keselamatan. Organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan harus bersatu melawan aksi terorisme serta tindakan teror dan kekerasan yang berbasis agama,” pungkasnya. (*/PN)

- Advertisement -