POSONEWS, Morowali- Perselisihan antara buruh dan pengusaha yang terjadi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah terus berlanjut. Salah satu contoh yakni masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak 61 karyawan oleh PT Bintang Delapan Mineral yang tidak mendasar dan prosesnya berlarut-larut hingga berjalan selama 6 bulan.
Menurut keterangan Imran, salah satu karyawan PT BDM yang diPHK sepihak oleh perusahaan menjelaskan kepada media ini bahwa setelah terjadi PHK pada bulan Februari 2020 lalu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihaknya untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, termasuk melapor ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)Kabupaten Morowali, DPRD Morowali hingga perundingan Bipartit antara pengusaha dan buruh.
Namun segala upaya yang dilakukan oleh buruh belum menemukan titik temu atau kesepakatan, sehingga perselisihan tersebut terus berlanjut.
“Kami datang ke sini (Disnakertrans, red) untuk memperjelas dan tindaklanjut sesuai dengan hasil Bipartit pada bulan Maret di perusahaan. Setelah dua kali dilakukan Bipartit, ternyata gagal, kami daftarkan di bulan Maret juga, sampai dengan saat ini belum ada tindaklanjutnya,” jelas Imran di halaman Kantor Disnakertrans Morowali, Selasa (18/8/2020).
Imran menambahkan, dalam upaya penyelesaian perselisihan tersebut, pihaknya mencari alternatif lain agar kasus tersebut dapat berjalan sesuai dengan semestinya.
“Kami bertemu dengan salah satu LBH (Lembaga Bantuan Hukum, red) yang ada di Palu, kami berbincang-bincang mengenai proses Pemutusan Hubungan Kerja yang ada di PT BDM yang kami anggap sangat tidak prosedural, bertentangan dengan aturan, baik aturan perusahaan mereka sendiri maupun aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan, khususnya UU nomor 13 tahun 2003,” tegasnya.
Imran menilai bahwa secara hukum, prosedur pada PHK tersebut sangat cacat hukum. Sebab dalam peraturan perusahaan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja harus ada musyawarah terlebih dahulu kemudian melakukan PHK, itupun harus sesuai dengan aturan Undang-Undang yang berlaku.
“Kami pada saat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja itu sama sekali tidak ada penyampaian, apakah itu musyawarah atau apa tidak ada sama sekali. Kami diputuskan saat itu 15 menit sebelum Adzan Jumat. Kami dikumpulkan, jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi kami mengerti bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, makanya kami menuntut sampai di mana saja untuk mendapatkan perlindungan hukum, karena kami tahu persis bahwa sesuai Undang-Undang bahwa pemutusan hubungan kerja tanpa ada putusan pengadilan maka batal demi hukum, perusahaan wajib mempekerjakan kembali dan membayar semua hak-haknya, itu yang kami tuntut sekarang,” tegas Imran lagi.
Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Kabupaten Morowali, Ahmad saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan bahwa untuk penyelesaian perselisihan tersebut, pihaknya pernah dipanggil ke DPRD, kemudian dilakukan Bipartit yang juga belum menemukan solusi, namun ketika itu ada wabah corona.
“Pada saat setelah new normal, kita sempat memanggil mereka, kita coba mediasi Tripartit lah namanya, karena sudah ada pengusaha ada pihak Pak Imran cs dan kita pemerintah. Pada saat itu ada masalah teknis yang belum dilengkapi, pada saat itu kita minta dilengkapi,” ungkapnya.
Ahmad melanjutkan, pihak buruh yang berselisih meminta diberikan surat pengantar untuk ke Mediator Provinsi Sulawesi Tengah, namun Ahmad berpendapat bahwa masalah perselisihan yang terjadi di wilayahnya akan diupayakan diselesaikan di wilayah tersebut.
Untuk diketahui, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali saat ini belum memiliki Pegawai Mediator untuk melakukan perundingan Tripartit dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara buruh dan pengusaha, sehingga Pemkab Morowali, dalam hal ini Disnakertrans harus membuat rekomendasi untuk melimpahkan penyelesaian perselisihan industrial ke Mediator, yaitu pegawai Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi serta mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih guna menyelesaikan perselisihan. (DRM)