POSONEWS, Palu – Lahirnya RUU HIP yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sontak menjadi perbincangan publik dengan berbagai macam pendapat.
Dalam hal ini, membagi dua kelompok pandangan, ada yang bersepakat untuk melanjutkan pembahasan sebagai penguatan terhadap Pancasila dan menolak pembahasan dengan mencabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Melihat persoalan itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Palu akan menggelar dialog publik Virtual via Google Meet dengan tema “RUU HIP Dalam Pusaran Penolakan Dan Perubahan Menjadi RUU BPIP” yang akan dilaksanakan pada Kamis 23 Juli 2020, Pukul 20.00 Wita.
Kegiatan tersebut menghadirkan enam narasumber yaitu, KOREM 132 Tadulako, DPRD provinsi Sulteng, Ansor Sulteng, PW IKA PMII Sulteng , Koordinator Team Pembela Muslim Indonesia Sulteng dan Akademisi Fakultas Hukum UNTAD.
Ketua Cabang PMII Kota Palu, Taslim berpendapat bahwa dalam dunia demokrasi perbedaan menjadi sebuah keharusan, dalam agama Islam juga menjelaskan perbedaan adalah sebuah Rahmat.
“Artinya bahwa perbedaan pendapat menjadi sebuah pembawa kebaikan,” tuturnya.
Dijelaskannya, UU nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar kebijakan atau produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif dan eksekutif sesuai dengan keinginan masyarakat.
“Sehingga tanggapan publik terhadap RUU HIP dengan melakukan demonstrasi dijamin oleh undang-undang yang dimaknai sebagai partisipasi masyarakat dalam pembentukan undangan-undang,” jelasnya
Dikatakan, gerakan demonstrasi hadir atas penolakan terhadap RUU HIP karena tidak memasukkan TAP MPRS mengenai pelarangan terhadap paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme dalam konsideran dan beberapa pasal yang tidak sesuai dengan keinginan ormas ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu Trisila, Ekasila dan ketuhanan yang berkebudayaan.
“Kami Sangat menyayangkan kenapa Anggota DPR RI tidak memasukkan TAP MPRS tentang pelarangan paham tersebut dan juga memasukkan pasal-pasal yang perdebatannya telah selesai tanggal 18 Agustus 1945,” imbuhnya.
Protes tersebut mendapatkan titik terang setelah pemerintah akan mengakomodir tuntutan dari masyarakat dengan berkomitmen akan menjalankan TAP MPRS pelarangan paham Komunisme dan akan meletakkan pada RUU HIP.
“Namun hal ini tak bisa menghentikan gerakan penolakan dengan melakukan demonstrasi berjilid-jilid. Saat demonstrasi dilakukan, bendara Partai Komunis Indonesia (PKI) dibakar oleh para pendemo sebagai bentuk hasrat penolakan terhadap paham Komunisme jangan sampai tumbuh dan berkembang kembali di Indonesia,” bebernya.
Hal ini sontak menjadi sebuah pertanyaan apa yang hendak dituju dari para pendemo, apalagi saat demonstrasi terjadi pembakaran salah satu bendera Partai politik, padahal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sampai pada tahapan RUU pasti disetujui oleh mayoritas fraksi bukan hanya satu parpol saja.
Maka sudah sepantasnya mempertanyakan tujuan demonstrasi tersebut, apalagi sampai menyangkutpautkan komunisme akan lahir melalui RUU HIP walaupun tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa paham Komunisme diperbolehkan kembali di Indonesia.
“Jangan sampai gerakan penolakan RUU HIP dijadikan tunggangan terhadap pemecah belah persatuan dan kesatuan NKRI. Maka dari itu, forum diskusi harus dilakukan agar mendapatkan titik terang dari permasalahan yang ada,” tandasnya. (OPAN)